Minggu, 26 Februari 2017

Perspektif Pernikahan Dini Menurut Islam

HUKUM PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERNIKAHAN DINI
Pernikahan Dini menurut Negara
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa  perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.[1]

Pernikahan Dini menurut Islam
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu
1.      perlindungan terhadap agama
2.      jiwa
3.      keturunan
4.      harta
5.      akal
Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.[2]  

Perspektif Fiqh Islam
Dalam perspektif fiqh Islam, tidak menemukan adanya pembatasan usia minimal pernikahan dalam Islam. Justru, dalil-dalil menunjukkan bolehnya pernikahan pada usia dini/belia. Di antara dalil-dalil tersebut yaitu:

1.      Al-Qur’an yaitu QS At-Thalaq : 4 dan QS. An-Nisa : ayat 3 dan 127
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ = perempuan yang belum haid diberikan masa ‘iddah selama 3 bulan (Tsalasatu ashur). ‘Iddah itu sendiri terjadi karena kasus perceraian baik karena talak maupun ditinggal mati oleh suaminya. Jadi ‘iddah ada karena pernikahan. Dilalatul iltizam-nya (indikasi logisnya) dari ayat ini adalah wanita yang belum haid boleh menikah. Sehingga para ulama tidak memberi batasan maksimal maupun minimal untuk menikah.[2]
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap  perempuan yang yatim , maka kawinilah wanita-wanita  yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka  seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

وَيَسۡتَفۡتُونَكَ فِي ٱلنِّسَآءِۖ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِيهِنَّ وَمَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا تُؤۡتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرۡغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلۡوِلۡدَٰنِ وَأَن تَقُومُواْ لِلۡيَتَٰمَىٰ بِٱلۡقِسۡطِۚ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِهِۦ عَلِيمٗا ١٢٧
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an   tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa  yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka  dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan  supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (An-Nisa : 127)

2.      Hadis Rasulullah SAW
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi) [4]

Dijelaskan dalam ‘Umdat al-Qori karya Badruddin al-‘aini al-Hanafi bahwa Aisyah dinikahi Rasulullah pada umur 6 tahun,  yaitu 3 tahun sebelum Hijrah. Rasulullah hijrah lebih dahulu bersama shahabat sekaligus mertuanya Abu bakar as-Shiddiq. Kemudian sekitar 6 atau 7 bulan kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ keduanya pelayan/asisten Nabi dengan modal 2 ekor onta + 500 dirham untuk membeli onta lagi. Mereka menjemput Aisyah, Ibundanya Ummu Ruuman dan saudari Aisyah, Asma’ bintu Abibakar.
Rasulullah memulai hidup berumahtangga dengan Aisyah pada bulan Syawwal pada saat Aisyah berumur 9 tahun. Rasulullah meninggal pada saat Aisyah berumur 18 tahun.
Berdasarkan hadis tersebut para ulama, di antaranya Imam as-Syaukani, [5] menyatakan bahwa Boleh bagi seorang bapak menikahkan anak gadisnya yang masih kecil/belum baligh.

3.      al-Ijma’
Bolehnya seorang bapak untuk menikahkan anak gadis kecilnya yang telah baligh merupakan ijma’ ulama, atau minimal ijma’ shohabat. Sebagaimana riwayat Imam Ahmad dalam “al-Masa’il-dari riwayat Sholih- (3/129), al-Maruzi dalam  “Ikhtilaf al’Ulama’ (hal 125), Ibnu Mundzir dalam ‘Al-‘Ijma’ (hal 91), Ibnu Abdil Bar dalam al-Tamhid, al-Baghowi dalam “Syarh as-Sunnah” (9/37), An-Nawawi “Syarh Muslim” (9/206), Ibnu Hajar al-Asqolany dalam “Fath al-Bari” (12/27), al-Bajiy dalam “al-Muntaqo” (3/272), Ibnu al-‘Arobi dalam “’Aridhoh al-Ahwadzi” (5/25) dan al-Syinqithi dalam “ Mawahib al-Jalil” (3/27).[6] Dalil yang menjadi dasar adanya ijma’ ini di antaranya adalah ayat-ayat di atas, sunnah Nabi dan tradisi (al’Urf) di kalangan sahabat dan tabi’in dan generasi selanjutnya.

4.      Perbuatan (‘amal) Sahabat
Beberapa atsar menunjukkan bahwa para shahabat biasa menikahkan anaknya pada usia dini tanpa ada yang saling mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian para sahabat tidak memandang hal tersebut sebagai khoshois Nabi SAW. Di antara atsar tersebut adalah: (1) Ali bin Abi Tholib ra menikahkan anaknya Ummu Kultsum dengan Umar bin al-Khattab ra pada saat umurnya belum baligh (Riwayat Abdurrozaq dalam al-Mushonnaf dan Ibnu Sa’ad dalam al-Thobaqoot), (2) riwayat dari ‘Urwah bin Zubair; Bahwasanya Zubair ra menikahkan anak perempuannya yang masih kecil ketika dilahirkan (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam sunan-nya dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf dengan Isnad yang shohih). Imam Syafi’I dalam al-Umm menyatakan: tidak hanya satu orang shahabat yang menikahkan anak gadisnya pada usia belia.

SMKTB_MM_KOTATSM
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas komentar anda yang Membangun dan Menyejukkan
Mohon Maaf Komentar yang menjelekkan dan menjatuhkan orang Kami hapus