HUKUM PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERNIKAHAN DINI
Pernikahan
Dini menurut Negara
Undang-undang
negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang
Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.[1]
Pernikahan
Dini menurut Islam
Hukum Islam
secara umum meliputi lima prinsip yaitu
1.
perlindungan terhadap agama
2.
jiwa
3.
keturunan
4.
harta
5.
akal
Dari kelima
nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur
keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al
Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks
yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama
tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin
kabur.[2]
Perspektif
Fiqh Islam
Dalam perspektif fiqh Islam, tidak
menemukan adanya pembatasan usia minimal pernikahan dalam Islam. Justru,
dalil-dalil menunjukkan bolehnya pernikahan pada usia dini/belia. Di antara
dalil-dalil tersebut yaitu:
1.
Al-Qur’an yaitu QS At-Thalaq : 4 dan QS. An-Nisa : ayat
3 dan 127
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ
ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ
وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ
حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
وَٱلَّٰٓـِٔي
يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ = perempuan yang
belum haid diberikan masa ‘iddah selama 3 bulan (Tsalasatu ashur). ‘Iddah itu
sendiri terjadi karena kasus perceraian baik karena talak maupun ditinggal mati
oleh suaminya. Jadi ‘iddah ada karena pernikahan. Dilalatul iltizam-nya
(indikasi logisnya) dari ayat ini adalah wanita yang belum haid boleh menikah.
Sehingga para ulama tidak memberi batasan maksimal maupun minimal untuk
menikah.[2]
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا
تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
“Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim ,
maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka seorang
saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”
وَيَسۡتَفۡتُونَكَ فِي ٱلنِّسَآءِۖ
قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِيهِنَّ وَمَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ فِي
يَتَٰمَى ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا تُؤۡتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ
وَتَرۡغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلۡوِلۡدَٰنِ وَأَن
تَقُومُواْ لِلۡيَتَٰمَىٰ بِٱلۡقِسۡطِۚ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ بِهِۦ عَلِيمٗا ١٢٧
“Dan mereka minta
fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu
tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an
tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa
yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan supaya kamu mengurus
anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (An-Nisa : 127)
2.
Hadis Rasulullah SAW
“Dari Aisyah
ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak
berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan
beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq
‘alaihi) [4]
Dijelaskan dalam
‘Umdat al-Qori karya Badruddin al-‘aini al-Hanafi bahwa Aisyah dinikahi Rasulullah
pada umur 6 tahun, yaitu 3 tahun sebelum Hijrah. Rasulullah hijrah lebih
dahulu bersama shahabat sekaligus mertuanya Abu bakar as-Shiddiq. Kemudian
sekitar 6 atau 7 bulan kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu
Rafi’ keduanya pelayan/asisten Nabi dengan modal 2 ekor onta + 500 dirham untuk
membeli onta lagi. Mereka menjemput Aisyah, Ibundanya Ummu Ruuman dan saudari
Aisyah, Asma’ bintu Abibakar.
Rasulullah
memulai hidup berumahtangga dengan Aisyah pada bulan Syawwal pada saat Aisyah
berumur 9 tahun. Rasulullah meninggal pada saat Aisyah berumur 18 tahun.
Berdasarkan
hadis tersebut para ulama, di antaranya Imam as-Syaukani, [5]
menyatakan bahwa Boleh bagi seorang bapak menikahkan anak gadisnya yang masih
kecil/belum baligh.
3.
al-Ijma’
Bolehnya seorang
bapak untuk menikahkan anak gadis kecilnya yang telah baligh merupakan ijma’
ulama, atau minimal ijma’ shohabat. Sebagaimana riwayat Imam Ahmad dalam
“al-Masa’il-dari riwayat Sholih- (3/129), al-Maruzi dalam “Ikhtilaf
al’Ulama’ (hal 125), Ibnu Mundzir dalam ‘Al-‘Ijma’ (hal 91), Ibnu Abdil Bar
dalam al-Tamhid, al-Baghowi dalam “Syarh as-Sunnah” (9/37), An-Nawawi “Syarh
Muslim” (9/206), Ibnu Hajar al-Asqolany dalam “Fath al-Bari” (12/27), al-Bajiy
dalam “al-Muntaqo” (3/272), Ibnu al-‘Arobi dalam “’Aridhoh al-Ahwadzi” (5/25)
dan al-Syinqithi dalam “ Mawahib al-Jalil” (3/27).[6]
Dalil yang menjadi dasar adanya ijma’ ini di antaranya adalah ayat-ayat di
atas, sunnah Nabi dan tradisi (al’Urf) di kalangan sahabat dan tabi’in dan
generasi selanjutnya.
4.
Perbuatan (‘amal) Sahabat
Beberapa atsar
menunjukkan bahwa para shahabat biasa menikahkan anaknya pada usia dini tanpa
ada yang saling mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian para sahabat
tidak memandang hal tersebut sebagai khoshois Nabi SAW. Di antara atsar
tersebut adalah: (1) Ali bin Abi Tholib ra menikahkan anaknya Ummu Kultsum
dengan Umar bin al-Khattab ra pada saat umurnya belum baligh (Riwayat
Abdurrozaq dalam al-Mushonnaf dan Ibnu Sa’ad dalam al-Thobaqoot), (2) riwayat
dari ‘Urwah bin Zubair; Bahwasanya Zubair ra menikahkan anak perempuannya yang
masih kecil ketika dilahirkan (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam sunan-nya dan
Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf dengan Isnad yang shohih). Imam Syafi’I
dalam al-Umm menyatakan: tidak hanya satu orang shahabat yang menikahkan anak
gadisnya pada usia belia.
SMKTB_MM_KOTATSM